Postmodernisme berusaha mengkritik semua hal yang lahir di zaman modernisme. Ia tidak percaya lagi dengan hal-hal yang mapan baik dalam bentuk pemikiran maupun teknologi sebagi produk modernisme. Karenanya, ia selalu mempertanyakan apakah karya-karya kanon di zaman modernisme itu benar-benar sudah mencapai puncaknya dalam sisi seni dan estetika sehingga manusia setelahnya tidak bisa menyamainya atau selalu dianggap sebagai karya nomer dua? Apakah karya seni lukis Monalisa selalu dianggap karya yang sangat agung sehingga tidak ada seniman lagi yang dapat melukis lebih baik dari karya tersebut?
Pertanyaan ini yang selalu dikumandangkan oleh postmodernisme. Ini merupakan persoalan subjektivitas. Paham ini mestinya akan lebih mendorong bagi semua orang untuk melakukan karya-karya terbaiknya dan keluar dari hegemoni atau determinasi karya-karya adiluhung di masa lalu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut disampaikan oleh Dekan FBS UNY Dr. Widyastuti Purbani, M.A. ketika memberikan sambutan dalam acara pembukaan seminar kerjasama Jurusan Pendidikan Seni Rupa dengan Galeri Shah Alam Selangor Malaysia Rabu, 23 Desember 2015 di Ruang Seminar Lantai 3 Gedung PLA FBS UNY.
Seminar nasional yang bertajuk « Menelusuri Jejak Seni Rupa Timur dalam Postmodernisme di Asia Tenggar » ini menampilkan pembicara utama dari Malaysia yaitu Prof. Raja Dato Zahabuddin Raja Yaacob dan para pemakalah dari para pakar seni seperti Dr. Sunarto, M.Hum. dari Unnes, Dr. Hajar Pamadhi, M.A. dan Drs. Martono, M.Sn. dari FBS UNY. Kegiatan ini disambut dengan sangat antusias oleh para peserta karena dibanjiri oleh mereka yang ingin tahu lebih mendalam tentang postmodernisme dalam karya seni dari para guru seni, mahasiswa, dan masyarakat umum.
Prof. Raja Dato lebih banyak mengupas sejarah seni rupa di Malaysia asal-usul hingga kini. Sementara itu, Dr. Hajar Pamadhi mengawali pemaparannya dengan menggambarkan posisi sentral estetika Timur dalam seni postmodernisme di Asia Tenggara. Perkembangan filsafat ini mulai merambah alami seni Timur. Gerakan ini dikhawatirkan menggoyang keberlangsungan seni tradisional Timur yang eksotis ini dipahami analisis sejarah Barat menyebabkan posisi estetika Timur sebatas rasionalitas. Rasionalitas yang dituliskan oleh Barat tidak lebih seperti menebak buah mangga yang manis dengan melihat kulit.
Dr. Sunarto mengupas tuntas Filsafat Seni Nusantara. Dosen dari Unnes ini mengatakan bahwa seni nusantara mempunyai ruang dan waktu yang membentang dari Sabang sampai Papua. Ia hadir dalam estetika yang mempunyai konteks dengan budayanya. Filsafat ini bukan merupakan hal yang mustahil, walau untuk menggalinya dibutuhkan banyak referensi dan pengalaman empiris. Landasan filasafat ini meliputi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ketiga landasan tersebut telah membentuk ideologi seni nusantara. Jadi, keindahan harus ada kebaikan karena dalam seni nusantara tida ada kata “seni untuk seni”(art for art), melainkan “seni untuk sesuatu”. Keindahan lukisan haruslah menuju kepada kebaikan yang pada akhirnya melakukan perjalanan yang transenden.
Kesimpulan dari seminar ini antara lain adalah bahwa masyarakat Timur telah mendahului meletakkan nilai dalam perilaku dan budayanya, nilai seni yang berisikan estetika telah ada sejak sejak hadir dalam arti realistik maupun konsepsi, estetika Timur telah mempunyai penangkal dalam menghadapi arus temu budaya namun belum disentuh melalui pendidikan, dunia, postmodernisme berfungsi sebagai pemicu kreativitas berseni dan memberikan prinsip kebebasan dan kemerdekaan berkomunikasi, dan pendidikan seni adalah salah satu medium yang sebenarnya mampu mengakomodasi keberadaan seni postmodernisme melalui pemahaman nilai, sistem maupun fisik.
Setelah kegiatan seminar berlangsung, para peserta berpindah tempat menuju galeri seni rupa yang berada di GK IV FBS UNY untuk menyaksikan pameran seni hasil karya dosen dan mahasiswa seni rupa. Pameran ini sekaligus mencerminkan filsafat posmodernisme karena di dalamnya tidak ada pemisahan antara karya dosen dan mahasiswa. Orang kemudian akan menilai kegiatan ini dengan menggunakan subjektivitasnya. (Setyawan)