Dalam masyarakat tradisional Jawa, cerita dan pertunjukan wayang purwa sangat digemari. Di dalam wayang, hidup manusia di dunia ini dilukiskan sebagai suatu bayangan. Peristiwa demi peristiwa dan tujuan hidup berlangsung dalam tahapan-tahapan tertentu. Hidup manusia terjadi dan berlangsung dalam sebuah pola yang terberi, dan karenanya tak terelakkan. Tema wayang pun termasuk dalam tema kepastian dan jauh dari tema kemungkinan.
Dinamika dan dialektika wayang, terlebih ketika dimainkan dalang dalam suatu pergelaran, merupakan perlambang kehidupan manusia di dunia ini. Ia memberi petunjuk bagaimana kita harus hidup dalam menunaikan tugas hidup kita di dunia. Oleh karena itu, membaca dan menonton wayang akan berarti sebagai proses beridentifikasi dengan tokoh-tokoh tertentu dan bercermin serta berteladan padanya dalam melakukan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari.
Demikian diungkapkan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, guru besar Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta pada Seminar Nasional bertema “Wayang sebagai Media Pencerahan Kemanusiaan” yang dilaksanakan pada Sabtu, 11 Mei 2013 di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY.
Menurut Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, wayang juga merupakan sebuah situs ideologis yang di dalamnya berbagai ideologi bertarung, saling meniadakan, saling melengkapi, dan saling memperkaya hingga akhirnya tercapai keseimbangan dalam harmoni yang dibingkai estetisasi pergelaran. “Secara sosiologis, wayang bisa saja memerankan fungsinya yang bersifat komunikatif. Artinya, melalui pergelaran wayang bisa saja dipropagandakan berbagai hal sejalan dengan kapabilitas dan kewenangan wayang sebagai seni,” katanya.
“Melalui pergelaran wayang, penonton bisa memetik beragam nilai di luar nilai yang sekedar bersifat hiburan, misalnya nilai yang bersifat filosofis-transendental. Lakon-lakon tertentu sengaja dipilih dan disiapkan agar kedua nilai yang saling memperkaya.” Seminar yang dihadiri mahasiswa, dosen, serta pemerhati wayang ini diselenggarakan oleh Museum Pendidikan Indonesia (MPI) dalam rangka dies natalis UNY ke-49 dengan menampilkan pembicara Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, Ir Yuwono Sri Suwito, MM (Ketua Dewan Kebudayaan DIY), dan Kirun (seniman).
Menurut Kepala MPI UNY, Sardiman AM., M.Pd., kegiatan ini digelar karena wayang kulit sebagai warisan budaya adiluhung kurang mendapat tempat di hati para remaja dan ilmuwan. Oleh karena itu, sangat beralasan apabila seni pewayangan itu akan tergeser oleh derasnya arus budaya asing. “Ironis bila kita sebagai pemilik warisan budaya adi luhung ini kurang menghargai karyanya, sementara banyak seniman dan ilmuwan asing yang mengkaji dan mengembangkan seni pewayangan yang ada di Indonesia,” kata Sardiman AM., M.Pd.
Ir Yuwono Sri Suwito, MM dalam paparannya mengatakan bahwa wayang merupakan mahakarya bangsa Indonesia yang pantas untuk dilestarikan, tidak hanya sebatas pelestarian fisik wayangnya namun juga seni pertujukan wayang yang sarat dengan nilai simbolis, filosofis, serta etika moral. Karena keadiluhungan seni pertunjukan wayang inilah UNESCO pada tanggal 7 November 2003 menetapkan pertunjukan wayang kulit sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.
“Pada awalnya, fungsi pergelaran wayang adalah sebagai penghormatan kepada arwah nenek moyang atau sebagai kelengkapan ritual atau upacara tradisional,” kata Ir Yuwono Sri Suwito, MM. “Namun seiring dengan perkembangan zaman, pergelaran wayang mengalami pergeseran fungsi.” Pergelaran wayang yang semula bersifat sakral kemudian mengalami pergeseran fungsi dan perubahan sifat sebagai tuntunan, yaitu tuntunan dalam pendidikan karakter, falsafah pendidikan serta pencerahan jiwa, lalu bergeser menjadi tontonan yang pada hakikatnya hanya bersifat menghibur walaupun masih terikat pada aturan atau pathet.
Di era globlasisai sekarang ini, pertunjukan wayang yang bersifat traditional art telah berkembang ke arah pseudo traditional art. Sementara itu pembicara HM Syakirun yang lebih dikenal dengan nama Kirun, seniman dari Madiun, mengatakan bahwa bangsa Indonesia berjatidiri sebagai bangsa yang baik perilakunya dengan didasari kepada nilai-nilai keagamaan dan nilai budaya yang diwarisi secara turun temurun.
“Kita sekarang berada dalam suatu era yang disebut pascamodern,” kata Kirun “di sini ada pertarungan tidak seimbang antara budaya dominan yang didukung pasar dan budaya lokal yang dipertahankan pemiliknya.” Menurutnya, telah muncul kekhawatiran bahwa ke depan banyak bangsa di dunia yang tercerabut dari budayanya termasuk wayang yang hilang adiluhungnya sehingga kita tidak lagi memiliki rumah budaya. Untuk menangkal dampak buruk tersebut, Kirun mempunyai sebuah tips. “Teruslah perkuat bangunan kebangsaan dan bangunan keindonesiaan melalui kearifan lokal seperti budaya spiritual, warisan pusaka alam, dan pusaka budaya,” tutup Kirun. (dedy)