Dalam perjalanan guru Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T), permasalahan yang dihadapi tidak hanya tentang murid atau proses belajar mengajarnya, melainkan juga harus menghadapi kondisi sosial masyarakat yang tentu berbeda dengan daerah asal mereka. Misalnya guru SM3T UNY yang ditempatkan di Pegunungan Bintang, Papua mengalami kejadian yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya yaitu perang antar suku.
Para guru tersebut adalah Aditya Prihastini Wikantini, Ageng Hening Hutomo, dan Febrian Nur Hidayat yang ditempatkan di Distrik Oksamol. Menurut Febrian Nur Hidayat perang suku yang terjadi sangat menyeramkan sehingga mereka memutuskan untuk mengungsi ke distrik tetangga yaitu Oklib. Jangan dibayangkan bahwa perjalanan menuju Oklib mudah seperti di Jawa, mereka harus menempuh perjalanan darat selama 12 jam berjalan kaki menempuh hutan belantara Papua. Tidak ada jalan aspal yang dilewati angkutan umum, hanya ada pesawat yang pada saat itu diblokir penerbangannya karena perang suku.
Ditemani 4 siswa SD Inpres Tinibil Oksamol sebagai penunjuk jalan, guru SM3T tersebut memulai petualangan yang tidak terlupakan. Menempuh jalan sempit dan curam serta berjurang. Setelah satu jam perjalanan rombongan sampai di Kampung Une dan disambut siswa SD yang tinggal di sana. Setelah cukup beristirahat mereka melanjutkan perjalanan ke Oklib.
Satu-satunya wanita dalam rombongan, Aditya Prihastini Wikantini mengatakan bahwa makin jauh perjalanan yang ditempuh bukan semakin mudah, tapi harus semakin membutuhkan perjuangan. Lereng-lereng curam itu, jalanan longsor yang harus berhati-hati jika memijakkan kaki. Sungai kecil yang licin, tak hati-hati bisa tergelincir. “Berulang kali saya mengajak beristirahat walau belum ada seperempat jalan” kata Wikan “Kami melepas lelah di kebun, sungai dan tempat yang rindang”. Meskipun tahu akan memperlambat perjalanan yang jauh ini, tetapi mereka sadar, wanita ini tak akan mampu berjalan secepat mereka.
Sepanjang perjalanan yang dilihat hanya pohon-pohon tinggi. Tidak ada hiruk pikuk manusia, yang ada hanya sepi, gemericik air dan suara burung-burung. Perjalanan telah sampai di Kampung Okdunam, kampung paling atas di Distrik Oksamol. Setelah melewati kampung Okdunam jalan yang dilalui akan semakin sulit. Tanjakan, tebing, serta menyeberangi sungai yang licin dan deras.
“Perjalanan ini benar-benar memberi nuansa baru, menegangkan dan memberi pengalaman luar biasa,” tutur Wikan. Medan untuk mencapai puncak yang pertama, Puncak Hipyohikin, tidak hanya tebing-tebing yang dilalui, tapi juga reruntuhan pepohonan yang dijadikan jalan dan itu tidak datar melainkan naik. “Kami seperti masuk dalam semak dan gua-gua pohon. Licin dan menyeramkan. Dan untuk mencapai puncak itu kami harus berjalan sekitar 3 jam,” paparnya.
Waktu menunjukan pukul 17.30 WIT, rombongan baru saja tiba di puncak Hipyohikin. Gelap hampir turun dan mereka masih berada di dalam hutan. Jalan yang dilewati bukan lagi tanah atau batu melainkan potongan-potongan kayu yang di tata rapi. Tentu saja licin apalagi kondisi gerimis. Tidak ada senter, yang ada hanya lampu power bank yang cukup membantu. Mereka meneruskan perjalanan mengabaikan udara dingin dan menepis ketakutan yang ada agar tidak bermalam di hutan.
“Kami harus melewati sungai dengan jembatan kayu gelondongan sepanjang 10 meter,” kenang Wikan. Gerimis bertambah besar dan suara binatang malam semakin jelas. Pukul 19.35 WIT kami baru saja sampai puncak yang kedua, dan Oklip masih jauh di bawah sana. Jalan berkayu nan ekstrim telah berhasil dilewati kini jalanan becek harus dilewati. Sekali menginjakan kaki, tanah-tanah becek itu akan terangkat ketika kaki diayunkan.
Tepat jam 20.15 WIT mereka sampai di distrik Oklip. Betapa bahagianya bisa bertemu para guru SM3T Distrik Oklib, walaupun harus berjalan melewati hutan, lembah, lereng, melewatkan malam di hutan 12 jam lamanya. “Saya tak menyangka bisa berjalan sejauh itu walaupun dengan susah payah” kata Wikan.
“Terima kasih untuk teman-teman dan muridku. Perjuangan yang tak akan pernah terlupakan.” Bertahan di antara marah, lelah, sakit dan ketakutan. Pengabdian ini benar-benar mengajarkan hal yang luar biasa. Menghadapi hal-hal yang tak terduga. Berjalan beriringan bersama mereka anak-anak pedalaman. “Kami ikut merasakan segalanya bersama mereka. Terimakasih anak-anak. Terima kasih Papua.” (dedy)