Keterbatasan bukanlah penghalang bagi kreativitas manusia. Dalam kondisi apa pun manusia dapat tetap berkarya selama mereka memiliki mimpi dan kemauan untuk mewujudkannya. Hal tersebut dibuktikan oleh para peserta Workshop Dance Ability: Creative Expressions for All People yang diselenggarakan oleh State Department of USA bekerja sama dengan Fakultas Bahasa dan Seni UNY.
Workshop telah diadakan selama tiga hari sejak Senin hingga Rabu (29/4—1/5/2013). Yang menarik dari acara ini, selain dosen dan mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni Tari FBS, peserta juga berasal dari kalangan difabel. Peserta difabel tersebut di antaranya adalah tuna rungu, tuna wicara, dan penderita down syndrome. Alito Alessi, direktur artistik sekaligus pendiri Dance Ability International didatangkan langsung oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat dengan ditemani oleh Karen Daly, pengajar Dance Ability yang merupakan pengguna kursi roda guna membagi ilmunya kepada para peserta. Puncak acara ini adalah pergelaran tari kontemporer yang diselenggarakan di Pendopo Tedjakusumo pada Kamis siang (2/5/2013).
Pejabat-pejabat kampus yaitu Rektor UNY, Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., MA. beserta jajaran rektorat dan Dekan FBS, Prof. Dr. Zamzani, M.Pd. beserta jajaran dekanat hadir dalam pergelaran ini. Sylvia Young yang merupakan Atase Kebudayaan Amerika Serikat juga hadir dan menyampikan terima kasihnya kepada FBS UNY. Selain itu, tamu juga berasal dari Yayasan dan Sekolah Luar Biasa, mahasiswa FBS, dan masyarakat umum. Hal tersebut membuktikan UNY sebagai kampus yang humanis peduli terhadap hak asasi manusia, khususnya bagi kalangan difabel.
Pergelaran tari ini merupakan tempat untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan seni, sekaligus sebagai ajang pembuktian untuk menepis segala anggapan negatif mengenai penyandang cacat. Selama ini, penyandang cacat dianggap tidak mampu melakukan hal-hal yang berbau seni seperti seni tari ini. Hal tersebut tentunya melukai hak asasi mereka untuk bebas berekspresi. “Hak asasi manusia adalah milik setiap orang betapapun kondisi orang tersebut,“ kata Wakil Rektor IV, Prof. Suwarsih Madya, Ph.D. dalam sambutannya. “Nothing’s late for humanity.”
Oleh karena itu, dalam acara ini tampil pula tiga anak difabel dari Yayasan Autis Bina Anggita Yogyakarta. Ketiga anak tersebut: Henriko, Arka, dan Wawan menyanyikan lagu dengan diiringi permainan keyboard. Penonton terlihat antusias sekaligus terharu ketika mereka tampil secara bergantian dengan penuh semangat dan rasa percaya diri.
Setelah itu, dimulailah pertunjukan tari kontemporer oleh 33 peserta workshop bersama Karen Daly. Tarian tersebut dikoreograferi langsung oleh Alito Alessi. Tabuhan gamelan mengiringi para penari mengawali tarian dengan membentuk lingkaran besar dan seorang penari yang melakukan breakdance di tengah lingkaran. Meskipun hanya memiliki satu kaki, penari center tersebut dapat melakukan breakdance dengan sangat baik hingga memukau para penonton. Selanjutnya, satu per satu penari bergerak menuju ke penari center tersebut dengan gerakan-gerakan tubuh kontemporer. Gerakan tersebut merupakan bentuk ekspresi dari emosi mereka. Terlihat dua penari difabel cilik yang melakukan gerakan dengan bantuan penari dewasa lain. Tarian tersebut berlangsung selama hampir 30 menit.
Pergelaran tersebut dilanjutkan dengan tanya jawab antara peserta dengan Alessi. Berbagai pertanyaan dan komentar dilontarkan oleh penonton dan dijawab dengan penuh semangat oleh Alessi. Pada akhir acara, panitia memberikan kejutan untuk Alessi dengan menampilkan improvisasi tari kontemporer menggunakan sebuah instrumen gamelan.
“What a surprise! That was beautiful to see them improvising together. And the faculty of the university here were incredibly generous, they took good care of us, anything we needed they helped to make happen, and provided it. That was a great opportunity to have an incredible culture and people here. I think it’s one of the warmest, most loving, gentle cultures that I’ve ever been in. This was an honor to be here and I learned so many, many, many special things from the people,” komentar Alessi ketika diwawancari oleh tim reporter Humas FBS.
Sebagai penghargaan, Dekan FBS menyerahkan cindera mata kepada Alito Alessi, Karen Daly, Sylvia Young, dan perwakilan Kedutaan Besar Amerika Serikat secara simbolis. Selain itu, seorang tuna rungu bernama Annisa juga memberi Alessi sebuah kenang-kenangan berupa gambar wajah Alessi.
Pementasan ini bukan hanya sebuah pertunjukan, melainkan bentuk kerja sama tentang siapa kamu, siapa kita, dan apa yang dapat kita lakukan bersama. Seluruh peserta baik difabel maupun bukan-difabel datang untuk menyamakan persepsi melalui seni tari dan akan menampilkan hasil karya mereka untuk menunjukkan bahwa mereka adalah sama, karena mereka memiliki kesempatan yang sama pula. Keterbatasan yang ada bukanlah penghalang dalam penyatuan persepsi tersebut. “We have a common language, and we use the common language of our body, because it’s not difficult to learn if we want to listen to each other,” kata Alessi. Hal itu senada dengan yang dituturkan oleh Sylvia Young dalam sambutannya, “Dance is a universal language that can bring people together. It’s not about changing people, it’s about accepting people.”
Acara ini menjadi inspirasi bagi para penonton yang hadir. “We love it! Very nice, because there are so many differences between all the children and we think, that’s what makes it very nice!” kata Merika, salah satu penonton dari Belanda. Menurut Alek Kurniawan, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman, acara ini merupakan sarana refleksi diri. Jika penyandang cacat saja mampu mengkreasikan tarian yang indah, kita tentunya bisa melakukan hal yang sama, bahkan lebih baik. Melalui program seperti ini kita dapat memperbaiki diri kita untuk dapat terus berkreasi.
Dance Ability International adalah organisasi non-profit yang berpusat di Oregon, Amerika Serikat. Komunitas ini menyatukan perbedaan di antara orang-orang yang difabel maupun tidak melalui tarian. Sejak berdiri pada 1987 lalu, Dance Ability telah mempersatukan lebih dari satu juta orang dari 37 negara. Sebanyak 400 orang dari 25 negara juga telah bersertifikat sebagai pengajar di komunitas ini. Mereka menyelenggarakan berbagai kegiatan edukasi, workshop, dan telah tampil di berbagai negara. Kali ini mereka terlibat dalam program Art Envoys atau duta seni pemerintah Amerika Serikat yang akan mengunjungi tiga negara Asia.
“The US State Department invited major organization to come here to Indonesia, then to Mongolia, and then to Philippines. Indonesia is the first. We hope to come back and want to train people our methodology, so that your own people can be teaching with worth to each other throughout your country,” ungkap Alessi. (Zakiyah Kusumaningtyas)