Dua tahun persisnya, Vida menempa diri di Jerman. Selepas lulus dari Pendidikan Bahasa Jerman, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta (PB Jerman FBS UNY) pada 2013, ia memutuskan ke negeri pemenang Piala Dunia 2014 tersebut. Kini, gadis asal Pemalang itu menjadi salah satu dari ribuan orang yang bisa lolos menjadi pengajar muda Indonesia Mengajar angkatan XI. Ia merupakan satu dari 50 orang terpilih lainnya.
Jembatan pertama yang dilalui Arvida Rizzqie Hanita adalah mengikuti program Au-pair, di mana seseorang tinggal bersama sebuah keluarga berkebangsaan Jerman selama setahun. Kemudian, pada tahun kedua ia mempelajari hal baru dengan orang-orang berkebutuhan khusus dalam kegiatan sosial sebagai seorang pekerja sosial. Istilah lainnya adalah Freiwillige Soziales Jahr.
Tak cuma lancar berbahasa Jerman, apa yang ia lakoni di Jerman membawa pada sebuah pemikiran bahwa ia harus ikut berkontribusi untuk negerinya. Berlatar belakang jurusan kependidikan, ia pun memilih program Indonesia Mengajar untuk mewujudkan harapannya. “Saya putuskan mendaftar program ini karena tidak ada batasan mengenai jurusan. Semua jurusan bisa mendaftar,” katanya.
Dari Jerman, ia pun mengurus semua administrasi dan persyaratan lain. “Yang paling menantang adalah saat pembuatan esai.” Maklum saja, di tengah kesibukan kerja sosialnya ia harus bisa menyelesaikannya. “Malah saya tidak menyangka lolos tahapan pertama,” tambahnya. Semua proses ia lakukan dari Jerman termasuk saat wawancara dan simulasi mengajar. “Iya, betul pakai Skype.” Kata mantan wakil ketua himpunan mahasiswa PB Jerman itu.
Tahapan selanjutnya, saat peserta diwajibkan melakukan simulasi mengajar juga dilakoni secara online. Ia bercerita, jam 04.00 pagi waktu Jerman ia sudah siap dengan semua termasuk “kelas” untuk mengajar. Pada pagi itu ia akan mengajar murid-murid SD kelas 2. “Muridnya teman-teman saya, jumlahnya 6.” Bermodal tablet, jaringan internet, Vida berusaha tampil maksimal.
“Tantangan yang diberikan tim Indonesia Mengajar waktu itu adalah saat saya masuk kelas dan menyapa, murid-murid ini sudah didesain untuk tidak bisa bahasa Indonesia sama sekali. Kaget!” Ia menambahkan, saat itu yang penting ia bisa menguasai diri terlebih dahulu.
Tak disangka, ia pun dinyatakan lolos untuk mengikuti tahap lanjutan yaitu tes kesehatan. Tes kesehatan itu pun bisa dilaksanakannya di Indonesia “Kebetulan, saya terbang dari Jerman ke Indonesia pada 30 Agustus kemarin, saya bersyukur sekali ada banyak kemudahan dalam berlangsungnya pendaftaran walaupun dari Jerman. Tim Indonesia Mengajar tak menutup kesempatan buat mereka yang sedang tak di Indonesia.”
Tekad kuat dan keyakinan membuat Vida berhasil lolos, ia pun kini sedang menanti masa untuk tahap berikutnya, yaitu pelatihan. “Nanti, setelah mengikuti karantina ini baru ada pengumuman di mana saya ditempatkan.” Tak masalah di manapun, asal ia bisa turut melunasi janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa, di sanalah ia mengabdi.
Vida pun berharap, ia bisa berkontribusi penuh, belajar hal baru serta bisa menjadi inspirasi buat banyak orang. Tentu saja, pengalaman yang ia dapat di Jerman akan ia bagi demi tercapainya perkembangan positif. (Fitri Ananda)