Pengalaman sebagai peserta Sarjana Mendidik di daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar (SM-3T) selama setahun hendaknya tidak hanya disimpan untuk diri sendiri tetapi harus dibagi. Dengan membagikan pengalaman tersebut, diharapkan bisa menginspirasi dan memotivasi orang lain agar tergerak dan peduli terhadap kondisi pendidikan di Indonesia.
Tiga peserta SM-3T UNY angkatan III berkesempatan membagikan pengalamannya selama setahun mengabdi kepada RRI Yogyakarta. Ketiga peserta tersebut kini sedang menjalani Pendidikan Profesi Guru (PPG) di UNY Wates. Eko Rizqa Sari, seorang guru geografi yang mendapatkan daerah penugasan di Malinau, Kalimantan Utara menjadi orang pertama yang menceritakan pengalamannya. Daerah yang menjadi penugasannya merupakan perbatasan langsung antara Indonesia dan Malaysia.
Eko menceritakan pengalamannya bersama tentara penjaga perbatasan melatih murid-murid SD berlatih upacara bendera. SD tersebut belum pernah mengadakan upacara bendera secara mandiri semenjak berdiri 20 tahun yang lalu. Semua pihak menyambut dengan gembira ketika pertama kalinya sang Merah Putih dikibarkan di sekolah tersebut. Camat, kepala desa, polisi, tentara, dan tokoh adat mengikuti upacara yang bersejarah itu. Sungguh hari yang mengharukan.
Kisah kedua diceritakan oleh Yusuf Margani. Yusuf adalah lulusan jurusan PGSD. Dia ditempatkan di desa Lesten, Pining, Gayo Lues, Nanggroe Aceh Darussalam. Sekolah yang diajar oleh Yusuf sangat jauh dari kota. Akses menuju ke sana sangatlah sulit apalagi jika saat hujan turun. Muridnya berjumlah sedikit, kurang dari 30 siswa. Beberapa kelas juga digabung jadi satu karena kekurangan ruangan kelas.
Ada salah satu kejadian yang sangat berkesan bagi Yusuf. Ketika itu seorang siswa kelas 1 meminjam serutan. “Ara ken rautan?” Tanya bocah tersebut sambil menunjukkan pensil yang panjangnya tinggal 3 cm saja. Mendengar ucapan bocah itu, Yusuf keluar kelas. Bukan untuk mengambil rautan tetapi karena Yusuf tidak ingin siswanya melihat air mata yang keluar membasahi pipinya. Dia sangat merasa pedih melihat kejadian itu. Mereka bersemangat bersekolah meskipun kekurangan sarana belajar.
Cerita terakhir dituturkan oleh Nur Hidayah yang mengajar Biologi. Hida mendapatkan penugasan mengajar di Ngada, pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Di daerah sekitar tempatnya mengajar terdapat beberapa siswa muslim. Hal yang miris adalah sebagian besar dari mereka tidak bisa Baca Tulis Al-Qur’an (BTQ). Melihat kondisi demikian, Hida berinisiatif mengajar mereka BTQ serta pengetahuan dasar keislaman lainnya. Selain itu, Hida juga menginisiasi kegiatan Pramuka di SMP tempatnya mengajar. Dia melatih siswa-sisiwinya dari nol agar bisa mengikuti Jambore di kabupaten Ngada.
Kisah yang diceritakan oleh guru-guru SM-3T kepada pendengar RRI semoga dapat bermanfaat dan menginspirasi terutama kepada para calon pendidik yang lain. Masih banyak daerah di Indonesia yang belum merasakan pemerataan pembangunan. Mari maju bersama membangun Indonesia. (eko rizqa)