Bonaventura Taplo adalah salah satu dari 18 siswa kelas empat SD Inpres Tinibil, Distrik Oksamol, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Anak berumur 9 tahun itu mampu menangkap materi pelajaran yang disampaikan lebih cepat daripada siswa yang lain, padahal dia lebih muda dari teman sebayanya. Tubuh Bona, panggilan akrabnya, juga paling kecil di antara teman-temannya, namun dia adalah siswa yang paling pandai dan rajin di kelas.
Demikian diceritakan Ageng Hening Hutomo, guru SM3T UNY yang ditempatkan di sana. Dikisahkannya, setiap hari Bona pergi ke kebun milik keluarga dengan membawa noken dan parang walaupun jaraknya jauh dari rumah. “Semua dilakukan untuk mencari bahan makanan sekaligus mencari kayu bakar” kata Tomo, panggilan akrab guru SM3T tersebut. Anak-anak yang seharusnya masih dalam tahap usia bermain, harus bertahan dengan kerasnya hidup pada keadaan bagaimanapun.
Warga Kerdonmiri, Karangwuni, Rongkop, Gunungkidul, Yogyakarta tersebut mengatakan bahwa Bona berangkat sekolah tiap pagi berbekal boneng (ubi), buku tulis di noken (tas asli Papua yang terbuat dari kulit kayu), tanpa alas kaki, dan kadang tidak berseragam. Suatu hari Tomo memberi pelajaran ilmu pengetahuan sosial dengan materi tentang pekerjaan. Seperti biasanya, Tomo menanyai semua murid-murid tentang apa cita-cita mereka dan apa pekerjaan yang diinginkannya nanti jika sudah besar.
“Jawaban mereka bermacam-macam, ada dokter, pilot atau petani,” ujar Tomo. Ketika dia menanyai Bona tentang pekerjaan yang inginkannya, jawaban anak itu membuat Tomo terkejut. “Pak, cita-citaku ingin menjadi polisi, impianku tidak akan terbatas seperti sekolahku. Aku pasti bisa, Pak Guru” demikian jawab Bona. Tomo tertegun mendengar jawaban anak kecil polos itu yang sambil berkata dia memperagakan adegan polisi memegang senjata. Alumni Prodi PGSD Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta tersebut berharap agar Bona bisa meraih impiannya. “Keterbatasan di sekolah dan tempat tinggal jangan jadikan halangan untuk meraih impian,” harap Tomo.
SD Inpres Tinibil memang kekurangan buku cetak, media pembelajaran, dan sumber belajar lainnya, hanya ada bangunan dan murid saja. Hanya sebagian murid yang datang ke sekolah memakai seragam, banyak yang hanya memakai baju seadanya dan tak memakai alas kaki. Bahkan tak jarang guru asli pun kadang tidak berangkat karena memilih berkebun. Keterbatasan ini harusnya menjadi renungan oleh orang-orang perkotaan yang jauh berbeda nasibnya dengan orang-orang di pedalaman. (dedy)