Salah satu guru SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar dan Tertinggal) UNY yang ditempatkan di Papua adalah Sri Wariyati yang mengajar di SD Inpres Atembabol, Distrik Bime, Kabupaten Pegunungan Bintang. Jarak dari pusat distrik di sekitar bandara Bime ke sekolah kurang lebih 2 km, perjalanan biasa ditempuh dengan jalan kaki selama 15 menit saja. Pada hari pertama, Wari, demikian dia biasa dipanggil, mengajar Bahasa Indonesia dan Seni Budaya Ketrampilan di kelas 3.
“Belum genap dua minggu di sekolah, saya diminta menjadi wali kelas 1” katanya. Anak-anak di Atembabol belum bahkan tidak pernah mengenyam bangku TK. Pada awalnya, alumni prodi Pendidikan Bahasa dan Seni FBS UNY tersebut lebih menekankan pada psikomotorik halus dan verbal linguistik agar anak lebih lincah dan tidak kaku dalam belajar menulis. “Mereka saya ajak menyanyi sambil buka tutup tangan, walaupun masih banyak yang malu,” kata Wari. “Dua minggu berjalan baru bisa membangkitkan rasa percaya diri mereka untuk menyanyi.”
Setiap lagu pasti ada gerakan tangan dan gerakan kaki, dan setelah verling dan psikomotorik halus dasar tercapai, alumni SMKN 1 Salatiga tersebut mulai menggembleng latihan tulis dan baca. Mengenalkan huruf itu mudah, namun mengajarkan cara menulisnya-lah yang sulit. Di papan tulis kosong, Wari mulai membuat garis dan gambar kotak seperti di buku mereka. Satu-satu persatu siswa dibimbing, memegang tangannya dan mulai menuntunnya untuk menuliskan huruf “i”. Tidak semua anak bisa menulisnya huruf ini dengan lancar. Akhirnya putri Bapak Rokhmat tersebut mengajarkan mereka untuk menulis di udara, lalu menuliskannya di buku masing-masing.
Masalah sarana dan prasarana merupakan kendala terbesar pendidikan di Distrik Bime ini. Gedung sekolah yang berumur hampir 20 tahun ini berdiri di atas bukit yang cukup landai. Gedung dari kayu yang di sana-sini sudah jebol termakan injakan ratusan anak-anak yang pernah menempati sekolah ini, menjadi saksi bisu gambaran pendidikan di Distrik Bime. Tanpa papan nama, yang menandakan jika tempat itu sebuah sekolah adalah gedung yang panjang dan memiliki banyak ruang. Gedung panjang yang serupa hanya kantor distrik yang ada di Bime.
Ada dua gedung di SD Inpres Atembabol. Gedung atas dan bawah. Gedung atas ada 5 ruang, dan dipakai 4 ruang untuk kelas 1-4. Sedangkan gedung bawah ada 3 ruang, dan hanya dipakai 2 ruang, karena satu ruang sudah hampir rubuh ke bawah. Walaupun terlihat utuh, tapi tanah yang melandasi sudah hampir longsor karena becek dan terus menerus tergerus oleh babi milik warga. Hanya gedung tanpa ruang kantor guru, bel, meja kursi, dan papan tulis. Mirisnya, kursi-kursi banyak berpindah tempat di rumah guru-guru sehingga di sekolah kurang kursi. Banyak meja namun dibalik agar bisa diduduki.
Satu meja bisa untuk 2-4 anak. Bahkan ada juga anak yang menggunakan kursi miring untuk duduk. Jadi, mereka tetap hati-hati, malah kadang setengah duduk karena kalau tiba-tiba menekan kursi itu, kursi langsung hancur. Ada juga yang berinisiataif membawa kayu untuk menyangganya. Ruang kelas juga sudah berlubang sana-sini. Jadi, kita bisa melihat tanah bawahnya, karena alas papannya sudah lepas atau pecah. Bahkan kadang bisa melihat babi kecil yang melintasi gedung panggung ini. Yang satu ini bikin geli juga, karena kadang bisa melihat kotoran babi di bawah kelas.
Gadis kelahiran 21 September 1990 tersebut mengisahkan bahwa sekolah hanya masuk lima hari saja jikalau cuaca cerah, bila cuaca buruk berarti hari kerja berkurang. Curah hujan di Distrik ini memang tinggi. Apabila hujan semalam suntuk tidak berhenti sampai pagi pada saat jam berangkat sekolah, maka sekolah diliburkan. Hal ini untuk menjaga kesehatan anak-anak dan guru-guru mengingat sekolah yang di atas bukit itu, dingin sekali. Bahkan di siang hari pun angin gunung itu mencekit pori-pori kulit.
Hari-hari lainnya pelajaran dimulai jam 08.00 WIT, dan pulangnya berbeda-beda tergantung gurunya masing-masing. Menurut warga Ngelosari, Jombor, Tuntang, Kabupaten Semarang tersebut, pelajaran dimulai agak siang karena banyak siswa yang rumahnya jauh. “Ada beberapa anak yang kampungnya sangat jauh, bahkan melewati tiga bukit. Mereka berangkat jam 5 pagi” katanya. Namun semangat para siswa bisa diacungi jempol.
Masih banyak siswa yang belum bisa memahami pelajaran dengan baik, “Namun tidak sedikit pula yang saya anggap mutiara hitam yang sesungguhnya,” ungkap Wari. Anak-anak yang baru bertemu beberapa bulan, bisa langsung memahami pelajaran dan jalannya pelajaran hanya dalam hitungan menit saja. Belum lagi tulisannya sangat rapi dan berkarakter.
“Kalau saja mereka mendapatkan guru yang profesional dan materi pelajaran yang sesuai, saya yakin mereka lebih cerdas dari ini” kata wari “Materi yang kami berikan secara kilat saja mereka masih bisa mengejar bahkan bisa mengikuti tempo yang diberikan.” Wari berharap agar di waktu yang akan datang mereka mendapatkan yang terbaik dan pembangunan SMP di Distrik Bime dapat segera terwujud. (dedy)