Secara umum, anak dilahirkan dengan kondisi beragam, tidak ada yang identik. Sebagian besar dari mereka dikaruniai kesempurnaan fisik dan mental intelektual, tetapi sebagian lainnya dianggap kurang beruntung, mereka berbeda secara signifikan, karena mengalami ketidaksempurnaan baik fisik maupun mental intelektualnya. Terkadang kita menghadapi kerancuan dalam menggunakan istilah untuk anak berkebutuhan khusus. Ketika menyebut disabilitas berarti kita merujuk pada inability yaitu kehilangan kemampuan pada kondisi biologis fisik, indera, otot. Sementara handicap adalah dampak atau konsekuensi dari disabilitas.
Demikian diungkapkan Prof. Dr. Suparno, M.Pd. dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini Berkebutuhan Khusus pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Pidato berjudul “Peningkatan Layanan Pendidikan Anak Usia Dini Berkebutuhan Khusus” itu dibacakan dihadapan rapat terbuka Senat UNY di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY Rabu 10 Juni 2015. Prof. Dr. Suparno, M.Pd. merupakan guru besar UNY ke-129.
Pria kelahiran Ngawi, 7 Agustus 1958 tersebut mengatakan bahwa pendidikan harus dimulai sejak dini, saat anak-anak memasuki periode keemasan (golden age) dalam masa tumbuh kembangnya. “Saat itu sel-sel otak mereka tumbuh dengan kecepatan yang luar bisa, diikuti dengan kepekaan menyerap informasi yang sama baiknya,” kata Prof. Dr. Suparno, M.Pd. “Termasuk sebagian di antaranya yang mengalami ketidaksempurnaan dalam proses tumbuh kembangnya baik secara fisik, mental, maupun sosial-emosional.”
Mereka adalah anak-anak yang masih terabaikan, masih sangat kurang memperoleh dukungan dan layanan pendidikan yang memadai. Tiadanya kejelasan pembinaan dan tanggung jawab kelembagaan serta program pembinaan anak usia dini berkebutuhan khusus menjadi salah satu faktor penyebab munculnya berbagai keluhan dan keresahan terhadap rendahnya kuantitas dan kualitas layanan yang ada. Selain itu, kurikulum yang tidak tersusun dengan baik, serta asesibilitas yang sangat terbatas juga dianggap sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap rendahnya layanan pendidikan anak usia dini berkebutuhan khusus.
Doktor dari bidang ilmu Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Negeri Jakarta tersebut mengungkapkan, sistem penyelenggaraan pendidikan anak berkebutuhan khusus secara holistik integratif dengan melibatkan berbagai lembaga dan departemen terkait yang mencakup kegiatan dan sumber dana penunjang yang diperlukan, perlu penataan ulang. Salah satunya yaitu perumusan landasan operasional khusus untuk anak usia dini berkebutuhan khusus berupa peraturan pemerintah, peraturan daerah, ataupun peraturan menteri berkenaan dengan (a) tujuan, (b) peserta didik berkebutuhan khusus, (c) tenaga pendidik, (d) kurikulum, (e) sarana-prasarana, (f) pendanaan, (g) evaluasi), serta (h) pengawasan dan pembinaan.
Selanjutnya, menyusun ketentuan tentang standar kebutuhan minimal yang diperlukan terkait dengan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini berkebutuhan khusus. Selain itu juga melakukan sosialiasai dan advokasi tentang pentingnya penyelenggaraan pendidikan anak-anak usia dini berkebutuhan khusus kepada jajaran legislatif, pemerintah pusat dan daerah, lembaga sosial masyarakat, para praktisi pendidikan, dan para anggota masyarakat.
Menurutnya, penyelenggaraan dan pengembangan lembaga pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif tingkat prasekolah khususnya TK/RA, untuk memberikan akses dan mengakomodasi anak-anak usia dini berkebutuhan khusus yang tidak mengalami hambatan intelektual. “Mengimplementasikan dan mengintensifkan layanan holistik-integratif dengan melibatkan berbagai usur layanan pendidikan, kesehatan, gizi, ataupun pengasuhan, sebagaimana yang telah diprogramkan Bappenas,” katanya.
Penyediaan dan pembinaan tenaga pendidikan anak usia dini berkebutuhan khusus melalui kerja sama pemerintah pusat dan daerah dengan lembaga penyedia program PAUD/PLB di LPTK atau menyelenggarakan piloting model kelembagaan untuk anak-anak usia dini berkebutuhan khusus di setiap daerah. (Dedy)