Gejolak jagat Kurikulum 2013 masih memanas. Para praktisi hingga pakar pendidikan pun tak absen membincangkannya ke dalam berbagai forum. Bersamaan dengan persoalan itu turut gencar pula penelitian ilmiah atas Kurikulum 2013. Tak urung dua mahasiswa FBS ini. Di tangan kreatif Rony Kurniawan Pratama (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) dan Zidnie Ilma (Bahasa dan Sastra Inggris), wacana nasional ihwal Kurikulum 2013 bahasa Indonesia dibentangkan dalam pertemuan ilmiah bertajuk Economics, Humanities and Management (ICTEHM’15) pada 27—28 Maret 2015, di Bayview Hotel Singapura. Selain presentasi oral di hadapan forum dunia, paper mereka lolos penilaian dan dipublikasikan (prosiding) di jurnal internasional.
Rony-Zidnie mengangkat penelitian berjudul “Transformation in Indonesian Language Curriculum: Pros and Cons between KTSP 2006 and Curriculum 2013 in Indonesia”. Menurut keduanya, transformasi antara KTSP 206 ke Kurikulum 2013 perlu disoroti secara kritis. “Bila membaca media nasional pasca ditetapkannya Kurikulum 2013, pastilah terdapat dua sudut pandang, yakni: pro dan kontra,” tutur Rony.
Menurut kedua mahasiswa FBS yang angkatan 2011 itu, geliat khalayak untuk merespons atas Kurikulum tentunya diupayakan sebagai ekspresi intelektual. “Pro dan kontra itu hal biasa dalam tiap kebijakan pemerintah. Dalam konteks Kurikulum, ada kubu yang masih mempertahankan KSTP 2006 sebagai kerangka pendidikan yang baik. Dan, ada pula pihak yang mengharapkan perubahan kualitas pendidikan ke arah lebih baik, sehingga dia menggadang-gadang Kurikulum 2013,” tambahnya.
Hasil penelitian Rony-Zidnie menunjukan baik dan buruk antara KTSP 2006 dan Kurikulum 2013, khusunya mata pelajaran bahasa Indonesia. Menurut mereka, kedua Kurikulum tersebut saling melengkapi. “Jika di KTSP 2006 porsi pembelajaran sastra lebih eksplisit, sebaliknya di Kurikulum 2013 cenderung implisit.
Hal itu senada dengan penjelasan Taufik Ismail pada gelaran seminar nasional yang diselenggarakan Jurusan PBSI tahun 2013,” jelas Rony. “Jika di Kurikulum 2013 mata pelajaran bahasa Indonesia, lanjutnya “muatan materi lebih berorientasi pada genre teks. Model pembelajarannya pun tematik integratif”—padahal tematik integratif itu telah dikenalkan sejak KTSP 2006 diberlakukan.
Peserta konferensi di Singapura itu adalah para peneliti—baik dosen dan mahasiswa S-1 sampai S-3—di kawasan Asia, Eropa, dan Amerika. Selain presentasi oral, mereka saling bertukar pengalaman antarsesama. (Akbar K. Setiawan)