Dipercaya sebagai pengemban amanah bidang Kemahasiswaan FBS, tak lantas membuat Dr. Kun Setyaning Astuti, M.Pd. mereduksi kiprahnya terhadap pengembangan pendidikan karakter berbasis seni di kancah dunia. Alih-alih menyusut, prestasi penelitian pendidikan seni di tataran internasional yang diperjuangkannya justru meroket tiap tahun. Pada akhir 2014, ia berhasil menyabet program penelitian kerjasama internasional. Oleh karenanya, program prestise yang dipunggawai oleh Dikti itu hendak memberangkatkan Kun ke Utrecht University, Belanda, pada awal Oktober 2015. Iktikadnya untuk safari penelitian ke benua Eropa itu begitu inspiratif: “Demi memajukan pendidikan karakter berbasis seni bernapaskan lokalitas Indonesia di tingkat internasional.”
Alasan mayor kenapa Belanda dipilihnya sebagai objek penelitian karena ia telah beberapa kali bertandang ke sana, sehingga pada kesempatan berikutnya ia dapat meneruskan dan memperdalam penelitiannya. Selain itu, Kun juga telah menjalin relasi erat dengan tiga universitas besar di Belanda pada tahun-tahun sebelumnya. “Di samping itu, Belanda telah mengedepankan pendidikan seni sejak lama dan implementasinya ke peserta didik sungguh luar biasa,” ungkap dosen seni musik yang juga merangkap sebagai Wakil Dekan III itu.
Proses seleksi penelitian kerjasama internasional yang diselenggarakan oleh Dikti itu tidaklah mudah. Kun mengakui tatkala Dikti memberikan penilaian tersebut didasarkan pada rekam jejak kompetensi penelitian internasional yang pernah dilakukan oleh sang pelamar. “Karena saya pernah melakukan penelitian tingkat internasional sebanyak kurang lebih enam kali, saya memberanikan diri untuk turut mengajukan proposal. Alhamdulillah saya dinyatakan lolos,” tuturnya.
Selain itu, Kun juga menuturkan kontribusi penelitian sebelumnya yang berkolaborasi dengan Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed.D. (Perumus Pendidikan Karakter UNY dan Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) dan Sudiyono, M.A. (Dosen Pendidikan Bahasa Inggris) yang mengkomparasikan model pendidikan karakter di Indonesia dan Belanda. “Pada tahun 2015,” lanjutnya, “penelitian saya akan lebih komprehensif; karena mengkaji mengenai pembelajaran seni secara tematik integratif yang tentunya lagi diwacanakan dalam Kurikulum 2013.”
Ibarat pepatah kuno yang mengatakan “Sekali dayung, dua, tiga, pulau terlampaui.” Selain penelitiannya ke Belanda, Kun juga telah merencanakan kunjungannya ke Université de Poitiers, Prancis. Kunjungannya itu didasarkan atas jalinan relasi yang dibuktikan dengan MoU antara UNY dan Université de Poitiers Prancis pada tahun 2014. “Saya akan melakukan timbal balik ke sana. Saya juga sudah berkomunikasi dengan Wakil Rektor sana. Responsnya sungguh positif. Université de Poitiers Prancis membuka luas untuk eksplorasi lebih jauh terkait observasi, penelitian, maupun kegiatan lain. Kesempatan ini harus saya gunakan sebaik mungkin,” ujarnya.
Ikhtiar Kun pada pengembangan pembelajaran seni didasari oleh kegelisahannya terhadap paradigma pendidikan Indonesia yang belum menempatkan mayor seni—dalam arti universal—secara serius daripada disiplin ilmu lain. “Padahal, seni syarat akan pendidikan karakternya. Karena seni-lah budi pekerti kita jadi halus.” Kata Kun, “Pembelajaran seni di Indonesia masihlah berkutat pada teori saja. Berbeda dengan di Belanda: teori maupun praktik dielaborasikan dengan baik. Dengan demikian, saya hendak meneliti lebih detil mengenai hal itu.” (Rony)