“Aku terbangun dari tidur ketika tekanan di telingaku meningkat tajam. Kubuka mataku perlahan. Hari sudah pagi, dan aku berada di antara gumpalan awan putih di langit Papua. Dari atas, terlihat jelas laut lepas dengan jajaran pulau yang diterpa kemilau matahari pagi. Burung raksasa yang kutumpangi mendarat mulus di bandara Dominique Edward Osok, Sorong, Papua Barat.” Inilah ungkapan hati seorang guru SM3T (Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan Terluar dan Tertinggal) Universitas Negeri Yogyakarta, Shinta Dwi Kurnia, yang ditempatkan di Kampung Saonek, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.
“Tak pernah terbesit dalam pikiranku untuk menapaki belahan bumi yang sangat jauh dari tempatku berasal” katanya. “Tangan-Nya-lah yang membimbingku untuk mendedikasikan sebagian kecil hidupku sebagai pendidik di sana.”
Gadis kelahiran Pati, 8 Oktober 1992 tersebut menjelaskan bahwa dari Waisai, Sorong untuk menuju ke Pulau Saonek tempatnya bertugas, digunakanlah sebuah speedboat. Sepanjang perjalanan ke sana, terlihat hamparan pulau-pulau kecil berpasir dan tumbuhan liar di pulau menambahkan kesan artistik di antara hamparan laut luas berpayung langit biru.
“Pulau Saonek dapat ditempuh kurang lebih 20 menit dengan menggunakan speedboat atau longboat dari Waisai,” kata Shinta. “Pulau ini pernah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2003-2005.” Kampung berluas 4000 m2 ini memiliki jumlah penduduk sekitar 538 jiwa. Masyarakat kampung Saonek sangat heterogen baik dalam segi budaya maupun pekerjaannya.
Empat puluh persen penduduk kampung Saonek berprofesi sebagai nelayan. Dataran Kampung Saonek dikelilingi oleh vegetasi daratan. Pada bagian selatan kampung terdapat hutan yang tanahnya berbukit agak curam dan terdapat areal perkebunan kelapa. Pantai barat Saonek ditutupi hutan Mangrove dengan luasan yang sangat kecil yang didominasi oleh jenis Rhizopora, Avicenia, Bruguira dan Soneratia alba.
Alumni Prodi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhamadiyah Surakarta tersebut ditempatkan di SMP Negeri 1 Raja Ampat. Sekolah ini terlihat sederhana dengan balutan nuansa putih kecoklatan dihiasi puing puing yang tampak rapuh dimakan usia. Pagar kayu membatasi sekolah dengan lapangan hijau di depannya. Bel besi berukuran cukup besar bertengger di tengah bangunan.
“Jumlah siswa tidak banyak, hanya 43 anak dalam tiga tingkatan kelas,” ujarnya. “Dalam keterbatasan, kulihat generasi emas yang gigih mencari ilmu, dan aku terpanggil untuk merangkul mereka.” Shinta diberi amanah oleh Kepala Sekolah untuk mengajar IPA dan TIK. Yang menarik, mayoritas siswanya sangat pemalu, bahkan untuk sekedar tampil memperkenalkan diri di depan kelas. Dalam pandangan Shinta, yang paling pemalu adalah siswa bernama Otniel Agustus Gilipin.
“Anak berkulit hitam dan berambut keriting itu bahkan tidak berani menatap lawan bicaranya” ujar Shinta. “Dia berlari ke belakang ketika aku memintanya membaca buku IPA di depan kelas. Dia tidak bisa menatapku lebih dari satu detik dan tertunduk malu setiap saat.” Shinta merasa perlu melakukan sesuatu agar Otniel mampu berdiri tegak di depan orang lain, yaitu dengan menanamkan rasa percaya diri padanya.
Pada umumnya semua siswa di sekolah ini memiliki karakter yang unik. Kadang kecerdasan dan bakat mereka tertutup oleh persepsi “nakal” yang menjadi tren di kalangan siswa SMP Negeri 1 Raja Ampat. Mereka cemerlang, namun hidup dalam keterbatasan. Para siswa senang membolos untuk sekedar mandi air garam atau memanjat kelapa di belakang sekolah termasuk mencari buah jambulan dan ketapang untuk dimakan. Rerata para siswa cakap menggunakan parang untuk mengupas buah kelapa dan membelah ketapang.
Uniknya, siswa laki-laki tidak senang memakai seragam dengan rapi. Mereka tidak suka mendengarkan pelajaran dengan metode ceramah, namun bersemangat saat Shinta memberikan materi dalam bentuk kuis yang melibatkan keaktifan dan meningkatkan rasa ingin tahu. Para siswa menyukai kompetisi dan sangat mengharapkan reward, walau hanya sekedar tepuk tangan dan ucapan selamat.
Hari demi hari, alumni SMAN 2 Pati Jawa Tengah tersebut semakin mengenal karakter siswanya. Pada dasarnya mereka merindukan sosok guru penyayang yang dapat menjadi panutan. “Mereka menghormati dan menyayangiku,” kata Shinta. “Sungguh berada di tengah mereka adalah karunia besar.” Shinta akan bertugas di Raja Ampat, Papua Barat hingga September 2015. (dedy)