Menjaga perbatasan negara janganlah sekedar dimaknai menjaga benda mati yang ditandai dengan patok atau koordinat-koordinat lintang dan bujur. Ada sumber daya manusia yang justru harus lebih diperhatikan daripada hanya sekedar menunggu tanda simbolis berupa patok. Sering kita dengar banyak warga negara Indonesia yang justru lebih nyaman dan enjoy hidup bersama negara jiran. Janganlah salahkan pula jika mereka tak tahu siapa presidennya atau bagaimana cara menyanyi Indonesia Raya jika sinyal, siaran radio, buku-buku atau guru tak sampai ke tempat mereka tinggal.
Inilah curahan hati salah seorang guru Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T) UNY angkatan III, Eko Rizqa Sari yang ditugaskan di kecamatan Kayan Selatan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan negara bagian Sarawak, Malaysia. Eko Rizqa Sari ditempatkan di SMAN 9 Malinau, Long Ampung, Kayan Selatan, Malinau. Sekolah tersebut masih menumpang di SMPN 1 Kayan Selatan dan baru berstatus negeri dua tahun terakhir ini.
“Saat pertama melihat sekolah tersebut rasa iba langsung menyapa hati,” kata Eko. “Bangunan sekolah masih terbuat dari kayu yang mulai menua, tidak ada listrik, dan gurunya sering tidak masuk karena mereka hanya honorer.” Satu-satunya PNS di SMAN 9 Malinau hanya kepala sekolahnya saja. Menurut Eko, akses menuju sekolah ini juga cukup sulit karena harus ditempuh selama tiga hari menggunakan jalan darat dari Samarinda. Cara lain adalah melalui jalur udara menggunakan pesawat perintis dengan waktu tempuh 1,5 jam dari kota kabupaten.
Alumni Prodi Pendidikan Geografi tersebut menyadari ketimpangan pendidikan antara Jawa dan luar Jawa. “Jika di Jawa ramai membahas tentang Kurikulum 2013, maka di sini, murid dan guru mau masuk pun kami sudah sangat bersyukur,” ungkap Eko. Selain kurangnya motivasi, akses jalan yang tidak bagus juga menjadi kendala. Eko dan para guru harus pelan-pelan menyadarkan siswa yang malas dan bandel agar mau masuk sekolah. “Alhamdulillah untuk pertama kalinya kami bisa mengadakan ekstrakurikuler Pramuka di SMA,” paparnya.
Guru dan murid di sini memang mengenakan seragam Pramuka, namun tidak mengetahui Pramuka itu apa. Salah satu hal yang membanggakan Eko adalah ketika mereka bekerjasama dengan PAMTAS dari kesatuan 100/Raider untuk melatih anak-anak SD melakukan upacara bendera. Menurutnya, selama 20 tahun SD tersebut berdiri, baru pertama kali mereka melakukan upacara bendera sendiri. Suasana terasa khusyuk dan syahdu ketika bendera ditarik dan para bocah-bocah kecil itu menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Warga Jetis Lor, Karangsari, Kutowinangun, Jawa Tengah tersebut mengisahkan hal yang mengharukan pada saat upacara 17 Agustus. Ketika sore hari saat penurunan bendera, hujan deras mengguyur. Sesuai prosedur standar jika hujan deras mengguyur dan tidak ada tanda mereda, maka hanya pasukan 8 yaitu tim pembawa bendera saja yang bertugas menurunkan bendera.
“Saat mengetahui hanya sebagian kecil saja yang menurunkan bendera ada beberapa anggota paskibra yang menangis dan merajuk agar bisa ikut menurunkan bendera” ungkap Eko. “Mereka tidak rela kalau latihan selama ini sia-sia, padahal yang menangis tersebut termasuk anak yang paling bandel dalam latihan.”
Setelah kegiatan Paskibra tersebut Eko merasa lega karena bibit-bibit nasionalisme yang ditanam sudah mulai bersemai di dada mereka. Jika hati sudah terpaut, takkan mungkin raga berkhianat. Eko bisa merasakan pengalaman yang luar biasa, meski hanya setahun mengabdi di perbatasan dengan tekad pengabdian terbaik. “Kami berharap agar kuncup-kuncup itu menjadi bunga yang bermekaran, menghiasi pagar terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tutupnya. (dedy)