“Kesuksesan seorang pemimpin ditentukan oleh sejauh mana ia berhasil melakukan perubahan dan membawa organisasi dan pengikutnya ke arah yang lebih baik. Dua tahun terakhir ini, bersamaan dengan munculnya para pemimpin sukses baik pada dunia bisnis maupun non-bisnis di tanah air, saya mencermati semakin populernya model kepemimpinan efektif bernama servant leadership atau kepemimpinan yang melayani. Ada kecenderungan yang sama, baik pemimpin di dunia bisnis maupun politik bahwa mereka sama-sama mempunyai visi untuk membawa organisasi dan pengikutnya menuju kondisi yang lebih baik ke depan dan memberikan pemberdayaan kepada para pengikutnya. Kepemimpinan yang melayani diakui banyak pihak sebagai model kepemimpinan efektif dan relatif cocok untuk kondisi masa depan.”
Demikian diungkapkan Prof. Dr. Nahiyah Jaidi Faraz, M.Pd. dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Evaluasi Kinerja SDM pada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Pidato berjudul “Servant Leadership, Model Kepemimpinan Alternatif di Dunia Bisnis untuk Indonesia yang Lebih Baik” itu dibacakan di hadapan rapat terbuka Senat UNY di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY, Rabu, 24 Desember 2014. Prof. Dr. Nahiyah Jaidi Faraz, M.Pd. merupakan guru besar UNY ke-128.
Wanita kelahiran Pekalongan, 8 Januari 1952 tersebut mengatakan bahwa kekuatan model servant leadership ini tergolong unik, berbeda dengan kepemimpinan transformasional meskipun sama-sama mempertimbangkan masalah etika. “Servant leadership menekankan sikap egois pemimpin. sekaligus menyatakan dengan tegas bahwa pemimpin harus mendahulukan, sharing kontrol, dan mendukung perkembangan pengikut” kata Prof. Nahiyah.
“Dengan demikian, model ini membatasi peran pemimpin, dan pemimpin bukan segalanya, karena prestasinya dilihat dari sejauh mana ia berhasil melayani dan menciptakan pengikutnya menjadi orang yang mandiri dan berpotensi untuk menjadi pemimpin juga.” Menurutnya, kekuatan lainnya dari servant leadership adalah berusaha untuk mempengaruhi pengikut tetapi tidak menggunakan pengertian “pengaruh” seperti dalam konsep kepemimpinan lainnya. Faktanya, bahwa hampir semua teori kepemimpinan memperlakukan “pengaruh” sebagai faktor positif dalam proses kepemimpinan, tetapi servant leadership justru sebaliknya.
Servant leadership tidak mendominasi, memerintah, dan mengontrol. Namun sebaliknya, berbagi kekuasaan dan pengaruh kepada pengikut. Warga Mancasan Lor, Condongcatur, Sleman tersebut menjelaskan bahwa berbagai penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa servant leadership berpengaruh terhadap terciptanya Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada pengikutnya, diikuti dengan tingginya komitmen karyawan terhadap organisasi, dan akhirnya kepedulian pemimpin, pengikut serta organisasi terhadap lingkungan masyarakat.
Lebih lanjut, Doktor Penelitian dan Evaluasi Pendidikan UNY tersebut mengemukakan bahwa tulisan tentang servant leadership di Indonesia masih sedikit, padahal banyak teoritisi dan praktisi dunia tentang kepemimpinan mengakui kehebatan model servant leadership sebagai sebuah alternatif untuk kesuksesan di dunia bisnis. Dari sisi budaya, servant leadership cocok dengan budaya Indonesia (Timur) yang tidak mementingkan diri sendiri (self-interest). Beberapa pemikir dan penulis produktif dunia tentang kepemimpinan juga telah lama meramalkan bahwa servant leadership merupakan paradigma kepemimpinan di abad 21. Sejumlah hasil penelitian juga telah menunjukan bahwa servant leadership dapat mewujudkan kepemimpinan yang efektif.
Servant leadership sudah saatnya menjadi isu-isu penelitian dunia akademik Indonesia, khususnya bagi para peneliti masalah kepemimpinan. Dengan harapan bahwa model kepemimpinan yang melayani itu dapat lebih tersosialisasi dan diterapkan oleh para pejabat atau pemimpin di dunia bisnis maupun non-bisnis, agar Indonesia ke depan lebih baik lagi dari sekarang. (dedy)