Ozon berguna untuk melindungi bumi dari sinar radiasi ultra violet matahari tempat lapisan ini berada pada ketinggian 8—50 km di atas permukaan bumi. Namun, adanya ozon di sekitar permukaan bumi dengan konsentrasi tertentu akan membahayakan kesehatan manusia seperti infeksi dan iritasi saluran napas atau bahkan bisa merusak paru-paru. ozon bisa terjadi secara alamiah di dalam smog (kabut) terutama di kota-kota besar tempat gas NOx dan hydrocarbon dari asap buangan kendaraan bermotor serta berbagai kegiatan industri yang merupakan sumber pembawa terbentuknya ozon. Oleh karena itu, diperlukan monitoring tingkat polusi udara untuk mengetahui indeks polusi ozon di setiap kawasan.
Melihat fenomena ini, Fredy Setya Pradana, mahasiswa Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta menciptakan alat pendeteksi parameter kadar ozon. Alat karyanya di bawah bimbingan dosen Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNY, Herlambang Sigit Pramono, ST. M.Cs. ini, menggunakan Sensor MQ-131 sebagai detektor kadar gas ozon. “Sensor ini akan bekerja apabila mendapatkan rangsangan dari gas ozon sehingga menyebabkan terjadinya perubahan tegangan dan hambatan di dalam sensor,” jelas Fredy.
“Kemudian tegangan tersebut akan menjadi masukan pada sistem yang telah terpogram dan ditampilkan ke LCD untuk mengetahui seberapa besar kadar gas dalam area lingkungan tersebut dengan satuan (ppb) serta menyimpulkan kadar gas tersebut dalam kondisi normal atau bahaya,” lanjut Fredy.
“Namun Jika sumber gas ozon menunjukan besaran 121—2000 ppb maka LCD akan menampilkan kondisi “BAHAYA”, tegasnya.
Pada tahap pengujian, Fredy melakukan pengukuran kadar gas ozon di beberapa tempat yakni dataran rendah dan dataran tinggi seperti Yogyakarta, Tambi Wonosobo, serta Dieng. “Satu kali percobaan diperlukan waktu kurang lebih 20 detik hingga penunjukan stabil atau berhenti bergerak, dan dari percobaan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin tinggi area suatu tempat maka semakin kecil kadar gas ozonnya,” ungkap Fredy.
Hal ini bisa dimaklumi karena di dataran tinggi belum banyak terdapat sentra industry dan penggunaan kendaraan bermotor juga masih cukup rendah. Berbeda dengan di Yogyakarta yang sudah padat dengan kendaraan bermotor serta aktivitas industri yang cukup tinggi,” imbuhnya.
“Selain itu, banyaknya pepohonan di daerah dataran tinggi juga menjadi faktor pembeda rendahnya kadar gas ozon,” tutupnya. (hryo)