Kunci laboratorium ilmu-ilmu sosial adalah perpustakaan dan lingkungan masyarakat. Perpustakaan memiliki peran sekitar 50% dalam menyediakan berbagai kebutuhan mahasiswa untuk melakukan penelitian. Karena itu, apabila ingin mengembangkan laboratorium ilmu sosial, dasar desain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menata perpustakaan yang representatif. Demikian salah satu kesimpulan penting diskusi akhir antara dua dosen FIS UNY Amika Wardana, Ph.D. dan Supardi, M.Pd. dengan para dosen ilmu sosial di Jawaharlal Nehru University (JNU). New Delhi, Jumat (7/11/2014) lalu di ruang Pusat Studi Asia Timur dan Asia Tenggara JNU.
Amika dan Supardi melakukan rangkaian kegiatan pelatihan pengelolaan laboratorium ilmu sosial di JNU dari tanggal 20 Oktober—19 November 2014. Dalam kegiatan yang didanai program Islamic Develompment Bank (IDB) tersebut Amika dan Supardi langsung di bawah supervisor Ketua Pusat Studi Asia Timur dan Asia Tenggara, Dr. Gaujam Kumar Jha.
“Perpustakaan bukan sekedar buku-buku yang disediakan untuk bahan bacaan, tetapi perpustakaan harus mampu memfasilitasi mahasiswa ilmu sosial memperoleh berbagai sumber baik dalam bentuk book print maupun digital,” demikian ditegaskan Amika melalui jaringan skype langsung dari New Delhi. Ditambahkan Amika, bahwa untuk membangun perpustakaan representatif, maka desain laboratorium bukan semata membuat bangunan, tetapi bagaimana membangun desain siapa yang menjadi penanggungjawab laboratorium, dan bagaimana mekanisme kerja laboratorium. “Fasilitas bagus, tetapi kalau manajemen tidak profesional, hasilnya tentu kurang optimal,” tegas Amika.
Supardi menambahkan, berbagai sumber ilmu sosial sangat banyak dan luas. Masyarakat memiliki masalah luas dan kompleks yang tidak mungkin semua dapat diobservasi mahasiswa. Sangat tepat apabila perpustakaan menjadi masyarakat yang dimasukkan dalam ruangan. “Karena itu mahasiswa ilmu sosial harus dimanjakan dengan keleluasaan menggunakan dan memperoleh informasi di perpustakaan. Kalau perlu perpustakaan harus siap buka 24 jam, kalau di India dapat melakukan UNY pasti juga dapat,” tegas Supardi.
Rangkaian kegiatan pelatihan kedua dosen FIS di JNU adalah mengkaji proses penyiapan sumber belajar mahasiswa ilmu-ilmu sosial, pengembangan pusat studi ilmu-ilmu sosial, iklim akademik mahasiswa ilmu-ilmu sosial, dan penataan ruang perkuliahan mahasiswa ilmu-ilmu sosial. Kedua dosen secara intensif melakukan diskusi dengan para dosen, karyawan, dan mahasiswa di lingkungan JNU. Selain melakukan kegiatan di dalam lingkungan kampus, kedua dosen juga melakukan observasi ke beberapa lokasi yang berhubungan dengan studi ilmu sosial seperti sekolah dan pusat kegiatan masyarakat. (Mr. SPD)