“Mereka adalah Adi, Nasir, Aliyah, Iskandar, dan Kawi. Iskandar dan Kawi adalah siswa kelas IV SDN 4 Terangun yang sama sekali tidak bisa membaca dan tulisannya pun belum bisa dibaca. Sepertinya mereka tidak pernah berlatih membaca dan menulis di rumah. Inilah pekerjaan rumah terberat saya karena belum mempunyai pengalaman mengajar baca tulis sebelumnya. Selama kurang lebih satu bulan saya menerapkan model pembelajaran inklusi di kelas IV tempat siswa-siswa yang membutuhkan perhatian khusus duduk di bangku paling depan, tidak terkecuali Iskandar dan Kawi. Sementara siswa lain mengerjakan tugas yang saya berikan, Iskandar dan Kawi satu per satu diminta datang ke meja guru untuk belajar membaca.”
Inilah cerita Sopan Fitriani, guru SM3T UNY yang ditempatkan di SDN 2 Terangun, Gayo Lues, Nanggroe Aceh Darusalam. Sopan mengisahkan bahwa ada perubahan pada Iskandar dan Kawi. “Setelah tiga bulan banyak kemajuan pada mereka berdua,” ungkap Sopan. “Sementara Aliyah dan Adi, siswa yang mengeja dan tulisannya belum jelas, bisa dibilang agak lancar membaca, dan tulisannya pun semakin jelas terbaca meskipun untuk standar kelas IV masih jauh dari yang seharusnya.”
Setelah pengalaman tiga bulan itu, Sopan Fitriani harus melakukan perubahan agar kelima siswa ini dapat membaca dan menulis dengan baik. Bila digunakan metode inklusi belum membuahkan hasil yang maksimal karena akan mempengaruhi pembelajaran pada 23 siswa lainnya. Solusinya, Sopan memberikan bimbingan membaca dan menulis, yaitu pada saat pagi hari sebelum masuk sekolah dan saat istirahat. Terkadang meskipun pada pulang sekolah dilarang ada tambahan, dia mencari waktu untuk menemani mereka belajar membaca dan menulis. Setelah enam bulan berlalu kelima siswa tersebut mengalami perkembangan pesat dalam bidang membaca dan menulis. Mereka sudah siap bersaing dengan kedua puluh tiga siswa yang lain untuk meraih prestasi.
Alumni Prodi PJKR FIK UNY tersebut mengungkapkan bahwa pada hari-hari pertama sebagai wali kelas IV merasa tertekan. Bagaimana mungkin siswa kelas IV SD ada yang masih mengeja saat membaca bahkan ada yang belum bisa membaca? Bagaimana mungkin kelas IV SD sebagian besar hanya bisa penjumlahan dan pengurangan, itu pun jika pengurangan dengan meminjam mereka banyak yang tidak bisa. Bagaimana mungkin siwa kelas IV SD menulis pun ada yang belum bisa terbaca bahkan ada yang sama sekali tidak bisa menulis? Bukan hanya kelas IV yang menjadi tanggung jawab Sopan Fitriani. Karena wali kelas III jarang masuk sekolah dan kelas-kelas lain yang wali kelasnya terkadang tidak masuk sekolah, Sopan Fitriani juga bertindak sebagai guru yang mengisi kekosongan pelajaran.
Selain mengurus muridnya yang belum lancar baca-tulis, warga Sepatan, Mangunharjo, Arjosari, Pacitan tersebut menyempatkan untuk berinovasi dalam memperkenalkan ilmu pengetahuan pada muridnya. Pada materi bagian-bagian tumbuhan para siswa diminta mengambil bunga sepatu di depan sekolah. Sesampainya di kelas para siswa diminta membaca buku yang berisi materi bagian-bagian bunga. Dengan metode ini para siswa menjadi mudah memahami materi. Sopan terus memodifikasi, memanfaat apapun yang ada di sekitar lingkungan sekolah untuk membuat para siswa memahami apa yang disampaikan.
Metode pembelajaran yang dipakai kadang di dalam ataupun di luar kelas, juga menggunakan metode berkelompok agar para siswa bisa berdiskusi dan lebih bisa berbagi ilmu. Hasil yang diperoleh pun tidak mengecewakan, malah terbilang membanggakan. Nilai rata-rata mereka naik dan mereka menjadi lebih aktif belajar. “Saya hanya berharap apa yang disampaikan dengan metode ini bisa bermanfaat bagi mereka,” tutup Sopan. (dedy)