Kantor Urusan Internasional dan Kemitraan (KUIK) UNY mengadakan program pembekalan untuk Mahasiswa Berprestasi (Mapres) fakultas se-UNY dan Mahasiswa Pilihan (Mapil) UNY 2014. Program pembekalan ini diadakan selama lima hari (14—19/7/2014) dengan materi Cross-cultural understanding, How to Survive in Overseas, English for Socializing, dan Practical English Language Function. UNY memberikan fasilitas ini kepada Mapil UNY sebelum mengikuti program University Scholar Leadership Symposium di Kamboja (1—7/8/2014). Mapres se-fakultas UNY juga mengikuti program ini sebelum bertolak ke Filipina untuk study visit ke De La Salle University Dasmarinas (3—13/7/2014).
Pada pertemuan pertama, Dr.–Ing Satoto E. Nayono, M. Eng., M.Sc., Kepala KUIK UNY memberikan materi tentang Cross-cultural Understanding (14/7/2014). Dalam materi ini, mapil dan mapres dibekali dengan wawasan tentang pentingnya sensitivitas diri terhadap budaya luar. “Kita bisa memilih teman kita, tapi kita tidak bisa memilih tetangga kita,” ungkapnya. Untuk itu, Satoto mengajak pentingnya mengenal ‘tetangga’ dengan baik agar kewaspadaan berubah menjadi pertemanan. Jika melihat tantangan global, semisal Asean Economy Community 2015 dan World Trade Organization, pertemanan antarnegara semakin berperan penting.
“Kalian di sini adalah pemimpin-pemimpin di masa depan dan teman-teman yang kalian temui di sana juga pemimpin-pemimpin di masa depan, jadi ketika suatu saat terjadi konflik antarbangsa hubungan mungkin tidak serta merta memanas karena ada pertemanan masa muda yang kalian jalin dari saat ini,” terang Satoto menjelaskan pentingnya upaya mahasiswa untuk menjalin persaudaraan hingga ke seberang negari.
Untuk menjalin persaudaraan, komunikasi menjadi hal penting. Sayangnya, setiap individu membawa karakter budaya masing-masing dalam bergaul sehingga berpotensi menghambat komunikasi antarbudaya. “Untuk itu, pemahaman antarbudaya begitu penting,” ungkapnya.
“Yang terlihat di mata hanyalah sebagian kecil dari budaya mereka, misalnya tentang cara berpakaian. Namun, ada nilai-nilai, prioritas dan prinsip yang mendasarinya dan elemen-elemen tersebut yang perlu kalian pahami,” tambahnya. Ia memberikan contoh tentang perbedaan nilai antarbudaya barat dan timur, seperti penghormatan terhadap waktu dan individualitas. “Jika kita ingin meniru kepintaran orang barat, bukan berarti meniru cara berpakaiannya, tetapi meniru nilai-nilai yang mereka pegang, salah satunya kedisiplinan waktu,” terang Satoto.
Ketika para peserta program akan ke Kamboja atau Filipina, pastinya mereka akan menemukan perbedaan nilai antarbudaya yang lain. “Ketika Anda di Kamboja dan Filipina, seraplah ilmu sebanyak-banyaknya untuk membaca dan merespon budaya mereka,” pesan Satoto. Ia mengajak mahasiswa untuk mempelajari nilai-nilai yang membuat mereka maju agar para peserta dapat mengejar ketertinggalan kompetensi, keterampilan dan sikap yang mereka alami. (Febi)