Seorang Nyonya terusik ketenangannya tatkala Tuan Saudagar barang antik menggerutu di depan rumah sang Nyonya. Nyonya pun bergegas mengusir Saudagar paruh baya itu untuk hengkang jauh dari rumahnya. Pucuk dicinta ulam tiba, Saudagar pun justru tertarik dengan marmer antik kepunyaan sang Nyonya. Dengan berbagai jurus jitu rayuan, sang Nyonya itu akhirnya luluh untuk bersedia menjual empat marmer antiknya. Lain hari, Saudagar itu justru ketagihan bertandang ke rumah Nyonya. Berikutnya, ia menawar kursi Nyonya dengan dibeli setengah harga dan dibayarkannya penuh pada keesokan harinya.
Dengan penuh curiga dan berpenampilan solek, ketiga ponakan Nyonya datang untuk menagih hasil penjualan tanah pusaka datuknya yang tak kunjung dibagi sama rata. Bervariasi tuduhan pun dilontarkan sang ponakan kepada Nyonya: salah satunya mereka tuduhkan bahwa hasil uang penjualannya dibelanjakan sang Nyonya untuk membangun rumah. Terjadilah perdebatan sengit.
Keesokan harinya, ketiga ponakan merengek, menangis, meraung, dan berteriak di depan rumah sang Nyonya. Di dalam kamar, Saudagar dan Nyonya saling bertatapan. Saudagar merayu dengan genit kepada Nyonya sambil memegangi lutut sang Nyonya. Di luar, ketiga ponakan dan ditambah istri Saudagar menguping pembicaraan Nyonya dan Saudagar itu. Akhirnya, mereka pun memergoki keduanya dan masuk ke kamar tersebut. Konflik pun diakhiri oleh resolusi.
Naskah “Nyonya-Nyonya” karya Wisran Hadi tersebut dipentaskan oleh komunitas teater Mishbah UNY di Stage Tari Tedjokusumo, FBS, pada Senin (7/4/2014) malam. Pementasan yang disutradarai oleh Bela Yusti Suryani itu menyedot perhatian berbagai komunitas teater di Yogyakarta. Ratusan penonton yang terdiri dari mahasiswa dalam dan luar UNY pun memenuhi bangunan kuno Stage Tari FBS UNY. Setelah pementasan itu, komunitas Mishbah juga mengadakan sarasehan pascapementasan. Berbagai kritik dan apresiasi pun dilontarkan, sehingga terwujudlah suasana diskusi. Salam budaya! (Rony K. Pratama)